Infoaskara.com
Majelis Masyayikh mengadakan Workshop Ulasan Draf Pertama Dokumen Sistem Jaminan Mutu Internal dan Eksternal (SPMI dan SPME) untuk pendidikan jalur nonformal di lingkungan pesantren. Acara tersebut diselenggarakan dari tanggal 12 sampai 14 Juni 2025 di kota Tangerang dan melibatkan sejumlah pihak yang signifikan dalam sistem pesantren.
Acara tersebut melibatkan anggota tim penulis dokumen, wakil-wakil asuhan pondok pesantren dari berbagai daerah di Indonesia, ahli dan dosen bidang pesantren, serta perwakilan dari Kementerian Agama Republik Indonesia. Rencana workshop kali ini adalah untuk menganalisis dan memperbaiki draft awal dokumen tentang Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dan Sistem Penjaminan Mutu Eksternal (SPME), yang ditujukan bagi sistem pendidikan non-formal pada lembaga pesantren saat ini dalam proses penyusunan.
Ketua Majelis Masyayikh, KH. Abdul Ghaffar Rozin, dalam pernyataannya secara tertulis menyampaikan bahwa tujuan pembentukan sistem jaminan mutu ini bukanlah untuk membuat seragam semua pesantren, tetapi lebih kepada memastikan adanya pengakuan resmi bagi kelulusan siswa serta menghargai eksistensi dan ciri khusus pesantren jalur non-formal. Ini merupakan upaya pemerintah untuk menjawab komitmen mereka dalam mendapatkan pengakuan formal atas pendidikan yang diterima oleh para pelajar di lingkungan pesantren tersebut sebagaimana halnya dengan sistem pendidikan nasional pada umumnya.
\” Kami memiliki tanggung jawab yang mana pesantren nonformal perlu tetap eksis dan berkelanjutan. Kami wajib menjamin bahwa keluaran mereka mendapat pengesahan dari pemerintah, apakah nanti digunakan atau tidak, sebab hal ini berkaitan dengan hak-hak sipil bagi para santri,\” tegas Gus Rozin.
Dia juga menekankan pentingnya mempertahankan asal-usul pesantren dalam sistem ini dan tidak mentransformasinya menjadi salinan dari model pendidikan yang lain.
\”Kami tidak boleh merombak pondok pesantren menjadi jenis pendidikan lain seperti madrasah, tsanawiyah, atau format lainnya. Sebaliknya, tipe pondok pesantren semacam itu sudah eksis sebelum kami mengetahui sistim pendidikan bertingkat. Oleh karena itu, sistem pengendalian kualitas yang dibuat perlulah mudah dipahami serta digunakan,\” terangnya.
Selanjutnya, dia menekankan bahwa pembuatan SPM ini tidak hanya masalah administratif, tetapi juga berhubungan erat dengan hak-hak sipil para santri dalam mendapatkan pengesahan terkait pendidikannya di pesantren.
Sesuai halnya tersebut, Anggota Divisi Pendidikan Dasar dan Menengah Majelis Masyayikh, Prof. Dr. KH. Abd. A’la Basyir, menggariskan bahwa model ini tidak berasal dari penyesuaian eksternal, melainkan adalah pembaruan berdasarkan pada prinsip-prinsip serta semangat lembaga pesantren itu sendiri.
\”Kami bukanlah menggabungkan sistem eksternal ke dalam pesantren. Kami justru menciptakan sistem kami sendiri yang berasal dari warisan, ciri khas, serta semangat pesantren,\” tandasnya.
Menurut A\’la, sistem jaminan kualitas yang tengah disusun perlu dapat menggambarkan dengan komprehensif tentang kualitas pondok pesantren, mencakup aspek-aspek yang biasanya tidak menjadi fokus dalam sistem pendidikan formal, seperti nilai-nilai rohani, kelangsungan rantai ilmu pengetahuan, perilaku santri terhadap guru agama mereka, serta sumbangan sosial dari pondok pesentren kepada lingkungannya.
\”Sistem ini harus dapat mengakomodasi penilaian komprehensif, meliputi aspek-aspek yang seringkali tidak diperhitungkan oleh sistem pendidikan formal. Sebagai contoh, nilai-nilai rohani, integritas etis, kelangsungan warisan ilmu pengetahuan, perilaku santri terhadap kiai, dan dampak sosial pondok pesantren dalam lingkungan sekitarnya,\” tambahnya.
Salah satu aspek utama dalam sistem jaminan mutu pendidikan nonformal di pesantren adalah transparansinya terhadap narasi yang bersifat kualitatif. Tidak seluruh prestasi perlu divalidasi melalui skor atau ukuran formal saja.
\”Pesantren memiliki metode tersendiri dalam membangun karakter serta mengevakuasi pengetahuan. Oleh karena itu, sistim tersebut perlu memberikan tempat bagi narasi-narasi yang bersifat kualitatif, tidak sekadar kuantitatif,\” jelas A\’la.
Pengakuan atas alumni pesantren nonformal, seperti yang ditetapkan dalam UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, merupakan landasan utama untuk menyusun SPMI dan SPME ini. Sistem pengawalan mutu tersebut bertujuan untuk memberikan legitimasi akademik dan sosial pada para santri tanpa merugikan identitas asli serta otonomi pesantren.
\” Ini tidak tentang seragaman, tetapi memperkuat identitas unik pesantren. Oleh karena itu, pendekatan kami perlu konteks lokal, melibatkan semua pihak, dan bersifat mengapresiasi,\” jelas A\’la.