infoaskara.com
– Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk masa 2007-2009, Chandra M Hamzah, menyamakan situasi dimana seorang pedagang pecel lele dapat dikenai tuduhan sesuai undang-undang tentang kejahatan korporatif bila menimbulkan dampak merugikan bagi negara serta memberi manfaat pada kelompok tertentu.
Pernyataan tersebut dikemukakan oleh Chandra Hamzah ketika ia dipanggil sebagai pakar dalam persidangan untuk menguji substansi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 dari Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Kriminal Korupsi (UU Tipikor), yang kemudian diperbaharui melalui UU 20/2001, di Pengadilan Konstitusi (MK), Jakarta, pada hari Rabu tanggal 18 Juni.
Chandra meragukan ketentuan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 karena dianggap terlalu luas dan tidak jelas. Ini berpotensi menghasilkan pelaksanaan hukum yang semena-mena.
\”Karena penjual pecel lele masuk dalam kategori \’siapa pun\’ yang bertindak melanggar hukum dengan menjual dagangannya di atas trotoar yang semestinya dipergunakan oleh pengguna jalan kaki. Selain itu, tindakan mereka tersebut juga bisa dilihat sebagai cara untuk mendapatkan untung atau mengembangkan bisnis pribadi dengan menggunakan ruang umum yang menyebabkan kerusakan pada aset publik milik negara, dan hal ini tentunya turut merugikan anggaran negara,\” ungkap Chandra Hamzah dalam rilis pers MK, Jumat (20/6).
Chandra menyatakan bahwa tidak seharusnya terdapat pembentukan undang-undang yang kabur atau membingungkan serta tidak dapat diartikan dengan cara Analogi. Ini untuk menghindari pelanggaran prinsip lex certa dan juga lex stricta.
\”Sehingga pedagang pecel lele ini dapat dimasukkan dalam kategori yang melakukan tindakan pidana korupsi, karena telah terlibat dalam pengumpulan kekayaan pribadi, bertentangan dengan aturan hukum, serta memberikan manfaat bagi dirinya sendiri atau orang lain dan sekaligus menciderai finansial negara,\” jelas Chandra.
Pada saat bersamaan, Pasal 3 UU Tipikor juga mencakup istilah siapa saja yang bisa membantahkan inti dari tindakan korupsi tersebut. Ini karena tidak semua individu memiliki wewenang yang berpotensi menjadi sumber korupsi. Meskipun demikian, pasal ini sudah dengan jelas menyebutkan bahwa ada posisi atau peranan tertentu yang mungkin akan merugikan keuangan dan ekonomi suatu negara.
Menurut Chandra, kesimpulannya adalah bahwa Pasal 2 ayat (1) UU Antimoney Politics seharusnya dihilangkan lantaran penulisannya bertentangan dengan prinsip lex certa dan tidak jelas tentang tindakan mana yang dikategorikan sebagai suap atau korupsi.
\”Sedangkan revisi kedua adalah terhadap Pasal 3 UU Antirasuah. Perubahan tersebut meliputi penyesuaian dengan Artikel 19 Konvensi PBB tentang TindakPidana Dan Korupsi (UNCAC) yang telah dijadikan sebagai standar bagi kita. Dalam hal ini, kata \’SetiapOrang\’ akan digantireplace menjadi \’PegawaiNegeri\’Serta \’PenyelenggaraNasional\’, karena aturan ini secara khusus diperuntukkan bagi mereka. Selanjutnya, frasa \’yangdapatmerugikankeuangannegara dankesehatannegara\’eiseakanrekomendasidariUNCAC juga harus dihapus,\” tambah dia.