Figur Hukum Terkemuka Tan dalam Perselisihan Kasus Dugaan Korupsi Laptop Kementerian Pendidikan



infoaskara.com


,


Jakarta


– Bekas anggota tim spesial mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Penelitian, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim,
Jurist Tan
kembali tidak hadir ketika dipanggil oleh penyidik Jampidsus Kejaksaan Agung (Kejagung).

\”Hari ini adalah jadwal untuk pemeriksaan sang individu sebagai saksi sesuai dengan surat permohonan dari pengacaranya. Namun, hingga sekarang orang tersebut belum muncul,\” ungkap Kapuspenkum (Kepala Pusat Pengungkapan Hukum).
Kejagung
Harli Siregar di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, pada hari Selasa, demikian dilaporkan oleh Antara.

Berikut adalah informasinya, Jurist Tan diajak oleh penyidik untuk memberikan kesaksian dalam kasus dugaan tersebut.
korupsi laptop
Atau pengadaan digitalisasi pendidikan yang meliputi laptop Chromebook di Kemendikbudristek dari tahun 2019 hingga 2022.

Kapuspenkum menyampaikan bahwa tim pengacara Jurist Tan sudah mengirimkan surat lagi ke penyidik terkait absennya pada pemeriksaan tersebut. \”Sebabnya adalah individu tersebut memiliki beberapa hal penting yang berkaitan dengan privasi diri maupun keluarganya,\” jelasnya.

Siapa Jurist Tan

Tan Jurist adalah figur krusial dalam lingkungan usaha startup di Indonesia. Dia diketahui pernah berperan sebagai salah satu manajer awal Gojek. Gelar Master of Public Administration in International Development (MPA/ID) dia raih dari Universitas Yale.

Pada kasus dugaan suap terkait laptop dan Chromebook, Jurist Tan disangka berkolaborasi dengan mantan asisten khusus lainnya bernama Fiona Handayani. Tempat tinggal kedua individu tersebut sudah dioperasikan penggeledakan oleh petugas Jampidsus pada tanggal 21 Mei kemarin. Spokesperson Center for Law Information dari Kejaksaan Agung, Harli Siregar, mengonfirmasi bahwa alasan untuk pemeriksaan tempat tingal adalah karena mereka diketahui memiliki bagian dalam masalah hukum ini.

\”Sebagai staf khusus, berdasarkan informasi yang didapatkan oleh para penyelidik, orang tersebut ternyata juga memiliki peran dalam kasus tersangka ini,\” ungkap Harli pada hari Rabu, tanggal 28 Mei 2025.

Menurut temuan penyidik, lanjut Harli, kedua pihak tersebut bertanggung jawab dalam menyusun analisis yang pada akhirnya memicu keputusan untuk melakukan pembelian Chromebook itu. Meskipun demikian, sebut Harli lagi, telah terdapat laporan tahun 2018-2019 yang mencerminkan bahwa pemakaian Chromebook kurang efisien bagi proyek digitalisasi pendidikan Kemendikbudristek. Hal ini disebabkan oleh distribusi jaringan internet di negara kita yang masih belum seragam.

Berdasarkan hasil percobaan tersebut, disarankan untuk mengakuisisi laptop yang menggunakan sistem operasi Windows. Akan tetapi, diputuskan malah akan menyediakan Chromebook. Proyek ini membutuhkan biaya sebesar 9,9 triliun rupiah, dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) senilai 6,3 triliun rupiah.

Chromebook adalah notebook atau laptop yang menjalankan sistem operasi Chrome OS buatan Google. Saat digunakan, perangkat ini membutuhkan aplikasi berbasis awan sehingga koneksi internet diperlukan.

Selain menelusuri peran para staf khusus, penyidik, kata Harli, juga berfokus pada bukti elektronik berupa rekaman percakapan yang diduga menunjukkan adanya pembahasan internal menyoal proses pengadaan tersebut.

Kejaksaan Agung menyelidiki tuduhan penyuapan terkait pembelian laptop setelah mendeteksi adanya persefahaman atau konspirasi jahat yang mempengaruhi kelompok teknis pembelian di Kementerian Pendidikan agar melakukan studi pendukung bagi Laptop Chromebook.

Kepolisian Anti-Korupsi mencurigai adanya masalah dengan proyek tersebut lantaran sebelumnya Departemen Pendidikan dan Penelitian Teknologi sudah mengadakan penilaian yang menjelaskan bahwa Chromebook tidak sesuai untuk digunakan di Indonesia akibat keterbatasan infrastruktur internet. Laporan itu merekomendasikan penggunaan notebook dengan sistem operasi Windows sebagai gantinya. Akan tetapi, hasil penilainya malah dimodifikasi.

Nadiem Makarim menyangkal adanya modifikasi dalam penelitian tersebut. Ia menjelaskan bahwa penelitian awal dan selanjutnya memiliki objektif yang tidak sama. Menurut beliau, studi pertama dirancang untuk digunakan di wilayah 3T (Terpencil, Terdepan, dan Terluar). Di sisi lain, penilaian kedua difokuskan pada area dengan infrastruktur digital yang memadai.


Intan Setiawanty

menyumbang untuk penulisannya Artikel ini.

Scroll to Top