infoaskara.com.CO.ID – JAKARTA.
Obligasi Ritel Jangka Pendek Bank Indonesia (ORBIT) yang dipegang oleh bank semakin mengalami trend penurunan. Fenomena ini muncul sementara industri perbankan tengah berada dalam situasi serba kekurangan dana.
Secara umum, kepemilikan SRBI oleh bank pada Maret 2025 mencapai nilai Rp 526,17 triliun. Angka ini merupakan yang paling rendah dalam rentang waktu sembilan bulan belakangan. Sebelumnya, jumlah instrumen ini pernah dikuasai bank hinggaRp 601 triliun pada November 2024.
Walaupun begitu, penurunan jumlah pembelian SRBI itu tidak dilakukan untuk mendukung bank dalam mengembangkan pemberian kredit. Sebab, pada Maret 2025, pertumbuhan kredit hanya naik sekitar 9%, menjadikannya yang terendah dalam 16 bulan belakangan ini.
Apabila diperinci lebih jauh, bank mentransfer dananya dari SRBI ke Surat Berharga Negara (SBN), sehingga porsi investasi bank pada SBN bertambah. Sebagai ilustrasinya, jumlah investasi bank dalam bentuk SBN mencapaiRp 1.122 triliun per tanggal 26 Maret 2025, naik dibandingkan dengan nilai sebesar Rp 1.051 triliun di akhir Desember 2024.
Direktur Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas dari Bank Indonesia (BI), Fitra Jusdiman, mengakui bahwa kepemilikan bank dalam SRBI semakin berkurang, hal ini seiring dengan peningkatan kebutuhan likuiditas perbankan.
\”Terutama mendekati hari libur panjang Idulfitri yang lalu, baik untuk menyelesaikan keperluan masyarakat ataupun untuk mengatur pendanaan kredit,\” jelas Fitra.
Berdasarkan maksud dan tujuannya diterbitkan, Fitra menggarisbawahi bahwa SRBI adalah sebagian dari alat operasi moneter yang bertujuan tidak hanya untuk manajemen likuiditas perbankan, tetapi juga sebagai sarana untuk penarikan.
capital inflow
.
Hal ini bertujuan untuk memperkuat nilai tukar rupiah serta menjadi bagian dari upaya meningkatkan kedalaman pasar keuangan. \”Menurut pandangan BI, tingkat pengembalian pada surat berharga dalam negeri seperti Obligasi Negara dan Sukuk Ritel Syariah, tetap cukup menggiurkan bagi arus investasi asing,\” jelasnya.
EVP Komunikasi Korporat dan Tanggung Jawab Sosial PT Bank Central Asia Tbk, Hera F. Haryn, menyebutkan bahwa jumlah dana yang dipasang BCA di dalam instrumen efek telah mencapai angka Rp 407 triliun hingga bulan Maret tahun 2025.
Tempatannya, investasi dana dalam bentuk efek surat berjangka menjadi sebagian dari taktik manajemen likuiditas korporasi.
Namun begitu, dia menyebut bahwa sebagian besar dari itu diinvestasikan dalam bentuk Obligasi Pemerintah. Di sini juga termasuk investasi yang dialokasikan ke Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) serta instrumen pasar uang lainnya.
\”Penempatan dana di surat berharga dirancang untuk mempertahankan keseimbangan antara tingkat likuiditas yang cukup dan pertumbuhan kredit yang baik,\” katanya.
Pada prinsipnya, Hera menegaskan fungsi utama dari lembaga perbankan adalah sebagai sarana intermediasi ekonomi dalam artian penyaluran kredit. Per Maret 2025, total kredit BCA tumbuh sebesar 12,6% secara tahunan (YoY) menjadi Rp 941 triliun. Pertumbuhan tersebut berada di atas rata-rata industri.
Sementara itu, Corporate Secretary PT Bank Mandiri Tbk, M. Ashidiq M. Iswara melihat ada tren penurunan kepemilikan SRBI di perbankan nasional, termasuk di Bank Mandiri. Menurutnya, ini sejalan dengan strategi aktif pengelolaan portofolio surat berharga Bank Mandiri untuk mengoptimalkan likuiditas.
“Ini mendukung ekspansi kredit dalam mendorong pertumbuhan ekonomi kerakyatan secara berkelanjutan,” ujar Ashidiq.
Hingga Maret 2025, total aset Bank Mandiri yang diparkir dalam bentuk instrumen keuangan seperti Surat Berharga Negara mencapai sekitar Rp 403,67 triliun. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan angka pada periode yang sama tahun sebelumnya yaitu Rp 396,7 triliun.
\”Secara nominal, sumbangan SRBI terhadap seluruh aset surat berharga kita tidak begitu besar, karena sebagian besar dari portfolio surat berharga kita masih berupa SBN,\” katanya.
Ia menambahkan
outstanding
Emas pada logo perbankan tersebut akan dirancang ulang sesuai dengan situasi likuiditas bank sebagai elemen dalam strategi untuk mengoptimalkanaset; seiring itu juga membantu meningkatkan efektifitas penyaluran kebijakan moneter oleh Bank Indonesia.