infoaskara.com.CO.ID – JAKARTA.
Industri manufaktur Indonesia mengalami penurunan lagi di bulan Juni 2025. Situasi tersebut dikhawatirkan dapat menyebabkan terusnya perlambatan laju pertumbuhan ekonomi pada triwulan kedua tahun 2025.
Purchasing Managers’ Index
(Indonesia Manufacturing Purchasing Managers\’ Index/PMI) yang diterbitkan oleh S&P Global mencapai angka 46,9 pada bulan Juni 2025, lebih rendah dibandingkan dengan 47,4 pada Mei 2025. Indeks PMI Sektor Manufaktur Indonesia tetap berada di bawah tingkat netral yaitu 50,0, mengindikasikan bahwa sektor industri masih dalam kondisi menyusut.
Kepala Ekonomi Makro dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Muhammad Rizal Taufikurahman menegaskan bahwa dengan industri manufaktur yang mengalami kemerosotan selama tiga bulan beruntun mulai dari April sampai Juni 2025, serta laju penggunaan anggaran pemerintah yang tergolong pelan, maka pertumbuhan ekonomi pada triwulan kedua dianggap sukar untuk meningkat.
Berarti pertumbuhan pada kuartal kedua diperkirakan lebih rendah dibandingkan dengan kuartal pertama tahun 2025 (4,87%), yaitu sekitar 4,8 hingga 5,0%
year on year
(yoy),” kata Rizal kepada infoaskara.com, Selasa (1/7).
Rizal juga mengungkapkan, proyeksikan laju pertumbuhan ekonomi triwulan kedua tahun 2025 diharapkan kembali melambat, menunjukkan bahwa mesin utama pertumbuhan yaitu sektor industri serta pengeluaran masyarakat mulai kehilangan momentum signifikan pada triwulan tersebut.
Ini juga diyakini akan memengaruhi pencapaian semester kedua tahun 2025. Tanpa adanya percepatan kebijakan fiskal pada semester dua, menurut Rizal, target pertumbuhan tahun 2025 kemungkinan besar akan menyimpang jauh dari asumsi makro pemerintah yang telah ditentukan.
Selain itu, Rizal juga mengungkapkan bahwa penurunan performa sektor manufaktur di dalam negeri tidak hanya menjadi tanda kemunduran produksi, tetapi juga mencerminkan kondisi riil yang menunjukkan rendahnya permintaan pasar baik secara nasional maupun internasional.
Bila trend ini tetap berlangsung, kemungkinan besar akan muncul peningkatan jumlah penghapusan hubungan kerja (PHK), khususnya pada industri yang membutuhkan banyak tenaga kerja.
\”Artinya, tekanan pada pasar tenaga kerja akan semakin besar sedangkan dorongan sektor industri terhadap PDB malah berkurang. Ini menjadi peringatan tajam bahwa sektor manufaktur kita sedang kehilangan laju pemulihan,\” katanya.
Berdasarkan situasi ini, Rizal menegaskan bahwa pemerintah tidak dapat terus mengandalkan narasi tentang hilirisasi dalam jangka panjang, sementara sektor manufaktur yang bukan termasuk hiliras tetap lesu. Bahkan jika performa manufaktur semakin memburuk, kebijakan yang harus segera diambil ialah insentif fiskal yang tepat sasaran serta langsung mengenai inti masalah, yakni beban biaya produksi dan penurunan permintaan.
Begitu pula mengenai bantuan bunga pinjaman modal kerja, pengenduran pajak bahan baku, serta pendukung ekspor menjadi tindakan yang sangat diperlukan saat ini.
\”Tanpa tindakan nyata, terencana, jelas arahnya, dan dapat diukur, kemungkinan besar akan menghadapi proses deindustrialisasi awal yang semakin sistematis beserta risiko sosial yang melekat,\” katanya.