infoaskara.com
, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) telah mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) berkaitan dengan pasal 8 ayat (5) UU No.11/2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Permohonan ini menantang aspek yang berhubungan dengan hak imunitas untuk para jaksa.
Kapuspenkum Kejaksaan Agung Harli Siregar mengemukakan bahwa tim mereka meragukan argumen penggugat dalam kasus ini karena dianggap memberikan wewenang terlalu besar kepada para jaksa. Walau bagaimana pun, dirinya tetap menghargai pandangan serta posisi yang berbeda dari publik.
Menurut Harli saat dia berbicara dengan para jurnalis dan kutipannya dirilis pada hari Sabtu (7/6/2025), \”Yang sebaiknya kita diskusikan adalah menentukan batasan kewenangan apa saja yang terlalu besar. Hal itu yang pertama kali harus dipahami. Oleh karena itu, kami masih bertahan pada prinsip untuk menghormati serta mengakui bermacam-macam pandangan, opini, termasuk posisi dari berbagai kelompok dalam masyarakat.\”
Harli kemudian menyatakan bahwa lembaga Kejagung didirikan dengan wewenang tertentu. Menurutnya, jika ada pihak yang meragukan atau mendebat tentang penambahan wewenang bagi jaksa, hal tersebut harus dipertimbangkan secara hati-hati oleh semua pihak terkait.
Oleh karena itu, mari kita pastikan tidak tersesat. Saya rasa masyarakat pun berhak untuk menilai dan menguji apakah langkah-langkah yang diambil oleh kami atau lembaga ini benar-benar sesuai dengan wewenangnya,\” jelaskan Harli.
Menurut dia, Korps Adhyaksa telah usaha mengevaluasi hal-hal yang dibutuhkan oleh masyarakat. Hal itu, tambahnya, merupakan sebagian dari peran Kejaksaan dalam melindungi kepentingan publik.
\”Jadi, siapa saja dengan wewenang yang berlebihan? Itulah poin pentingnya, menurut pendapatku, masyarakat serta media perlu bersikap kritis terhadap pandangan seperti itu. Harus diwaspadai agar tidak terjadi situasi dimana hal tersebut dipercaya tanpa syarat sehingga dapat merugikan upaya penegakan hukum di masa mendatang,\” katanya.
Menurut laporan yang diambil dari website resmi Mahkamah Konstitusi (MK), permintaan pengujian undang-undang mengenai pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Kekaksaan tersebut dicantumkan dalam kasus nomor 67/PUU-XXIII/2025. Permohonan ini diajukan oleh dua praktisi hukum berinisial Harmoko dan Juanda.
Berikut ini adalah isi dari pasal 8 ayat (5): \”Saat menjalankan kewajiban dan otoritasnya, seperti memanggil, menanyai, menggeledahi, menangkap, serta menahan jaksa, hal tersebut hanya bisa dijalankan dengan persetujuan dari Jaksa Agung.\”
Menurut Juanda, yang merupakan salah seorang penggugat, ketentuan tersebut bertolak belakang dengan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUD NKRI) tahun 1945.
Pelapor menganggap bahwa ketentuan itu menyediakan perlindungan hukum untuk para jaksa. Ini berarti bahwa jika seorang jaksa melanggar hukum saat menjalankan kewajibannya dan kekuasaannya, hanya bisa ada panggilan, pemeriksaan, pencarian, penangkapan, serta ditahannya mereka setelah mendapatkan persetujuan dari Jaksa Agung.
Menurut pendapat para pemohon, hal tersebut menyebabkan perlakuan yang tak seimbang antara jaksa dengan penegak hukum lainnya, misalnya hakim, polisi, serta pengacara. Lebih lanjut, aturan ini dianggap tidak memperhitungkan persyaratan atau jenis pelanggaran yang mungkin dilakukan oleh jaksa sebagai bagian dari profesi mereka.
Pada saat bersamaan, Juanda menunjukkan bahwa walaupun para pengacara memiliki hak kekebalan seperti yang tercantum dalam Pasal 16 Undang-Undang Pengacara dan ditegaskan lagi melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013.
Namun, jika seorang pengacara saat menjalankan profesinya tidak bertindak dengan niat baik atau melanggar undang-undang, mereka masih harus diinvestigasi serta dikerdilkan tanpa memerlukan persetujuan tertulis dari atasan asosiasi hukumnya ataupun entitas lain mana pun.
Karenanya, para pemohon mengharapkan agar Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Kejaksaan tersebut bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) dalam Undang-Undang Dasar 1945, selama interpretasinya tidak sesuai seperti berikut:
\”Ketika menjalankan tanggung jawab dan otoritasnya, panggilan, penyelidikan, pencarian, penangkapan, serta penahanan terhadap jaksa hanya bisa dijalankan setelah mendapatkan persetujuan dari presiden, kecuali dalam situasi-situasi tertentu seperti: a) ditangkap saat sedang melakukan pelanggaran hukum; b) diduga telah meresahkan perbuatan jenayah yang mengancam dengan hukuman maksimal mati atau kurungan selama hayat mereka, ataupun pelanggaran serius lainnya terhadap hak asasi manusia dan keselamatan negara berdasar pada bukti awal yang mencukupi; atau c) disangka melakukenkan suatu jenis tindak pidana spesifik saja.”